3 Days / 2 Nights Religi Tour
3 Days 2 night Jawa Timur Religi Tour
IDR 700.000/pax (minimum 10 paxs)
Price include:
Car, Petrol, 2xFerry,Mineral Water,Parking fee
Exclude: Hotel transit,Donation,Rental Jeep/Horse in Bromo,Tip for Driver
Depart in the morning before 09 o’clock from Denpasar towards Gilimanuk (first stoppi at Rambut Siwi to Matur Piuning) and then cross over to Banyuwangi Ketapang, Tirta Yatra package 3 days 2 nights
Worship place / temple would be Visit:
Di abad ke-16, satu-satunya kerajaan Islam yang berarti di Jawa Timur adalah Pasuruan. Daerah lain masih dipimpin penguasa yang beragama Hindu. Kemungkinan besar terjadi perang antara Pasuruan dan Blambangan pada tahun 1540-an, 1580-an dan 1590-an. Rupanya pada tahun 1600 atau 1601 ibukota Blambangan ditaklukkan.
Menurut babad Jawa dan juga penulis Belanda François Valentyn, pada abad ke-17, Blambangan adalah bawahan Surabaya, namun hal ini diragukan. Yang jelas, Sultan Agung dari Mataram (bertahta 1613-1646), yang menyerang Blambangan tahun 1633, tidak pernah dapat menaklukkannya.
Tahun 1697 Blambangan ditaklukkan oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti, raja Buleleng di Bali Utara, mungkin dengan bantuan Surapati Raja Blambangan Prabu Tawang Alun dikalahkan dan untuk sementara Ki Gusti Ngurah Panji Sakti menunjuk perwakilannya untuk memerintah Blambangan sementara, I Gusti Anglurah Panji Sakti memberikan kepada Cokorda Agung Mengwi untuk menguasai Kerajaan Blambangan setelah menikah dengan putri Raja Mengwi tersebut.
Setelah Blambangan dalam kendali Mengwi, Badung, Ditunjuklah keturunan Prabu Tawang Alun untuk memegang Kerajaan Blambangan yaitu Pangeran Danuningrat, dimana Prabu Danuningrat untuk mengikat kesetiaan ia beristrikan Putri Cokorda Agung Mengwi.
Sebelum menjadi kerajaan berdaulat, Blambangan termasuk wilayah taklukan Bali. Kerajaan Mengwi pernah menguasai wilayah ini. Usaha penaklukan Kesultanan Mataram terhadap Blambangan tidak berhasil. Inilah yang menyebabkan mengapa kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk pada budaya Jawa Tengahan, sehingga kawasan tersebut hingga kini memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali juga tampak pada berbagai bentuk kesenian tari yang berasal dari wilayah Blambangan.
Pura Luhur Giri Selaka Alas Purwo
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh abad ke-14, para manggala kerajaan berucap, ”Boleh saja kerajaan Kita dihancurkan, tetapi tunggu lima ratus tahun lagi anak cucu Kita akan bangkit dan menagih kembali bekas wilayah Majapahit.” Itulah yang diyakini sebagian besar umat Hindu Banyuwangi, sehingga kini ada kebanggaan bagi mereka untuk kembali ke agama Hindu. Mendengar nama Alas Purwo, imajinasi orang pasti akan tertuju pada sebuah kawasan hutan lebat. Hal itu memang benar, Alas Purwo adalah sebuah kawasan hutan Taman Nasional di bawah lingkup Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Pura Alas Purwo disungsung umat Hindu Kecamatan Tegaldlimo, Banyuwangi, para pemedek mesti memasuki kawasan hutan Taman Nasional Alas Purwo. Dari pintu depan kawasan hutan Taman Nasional, diperlukan waktu 40 menit menuju Pura Giri Selaka. Di kanan-kiri kita hanya berjejer hutan jati, dan jumlah masyarakat yang lewat pun bisa dihitung dengan jari. Pura Giri Selaka berada di tengah hutan dan sekitar tiga kilometernya adalah kawasan wisata pantai Plengkung, bibir Alas Purwo itu sendiri. Di kawasan ini, memang tidak ada satu pun rumah penduduk. Kalau mau bermalam, pihak pengelola Taman Wisata menyediakan sejumlah penginapan sederhana, jaraknya sekitar satu kilometer dari Pura Giri Selaka. Meski tersedia sejumlah penginapan, tampaknya para pemedek yang ingin tangkil ke Pura Giri Selaka lebih memilih makemit di areal pura. Apalagi, areal pura saat ini telah mencapai luas dua hektar hasil pemberian Menteri Kehutanan sebagai penanggung jawab Taman Nasional bersangkutan. Menurut sesepuh umat Hindu Tegaldlimo, Pemangku Ali Wahono, sebetulnya Pura Giri Selaka ditemukan secara tidak sengaja oleh umat di sekitarnya pada tahun 1967. Saat itu, masyarakat Kecamatan Tegaldlimo melakukan perabasan terhadap sejumlah kawasan hutan Alas Purwo untuk bercocok tanam. Daerah di sekitar pura pun tampak cukup makmur dengan hasil palawijanya. Suatu ketika, di tempat berdirinya Pura Alas Purwo yang oleh masyarakat disebut Situs Alas Purwo, ada sebuah gundukan tanah. Masyarakat ingin meratakan dan menjadikan lahan cocok tanam. Tanpa diduga, ada bungkahan-bungkahan bata besar yang masih tertumpuk. Persis seperti gapura kecil. Lantas masyarakat sekitarnya membawa bungkahan bata-bata itu ke rumahnya. Ada yang menjadikan bahan membuat tungku dapur, ada juga untuk membuat alas rumah. Rupanya, keluguan masyarakat itu telah menyebabkan munculnya musibah bagi warga yang mengambil bata-bata tersebut. Selang beberapa saat setelah mengambil bata itu, semuanya jatuh sakit. Pada saat itulah, ada sabda agar bongkahan batu bata tersebut dikembalikan ke tempatnya semula. Bongkahan-bongkahan itu adalah tempat petapakan maharesi suci Hindu zaman dulu. Meski belum ada catatan resmi dalam prasasti, masyarakat mempercayai yang malinggih di situs Pura Alas Purwo adalah Empu Bharadah. Tetapi, ada juga yang menyebut Rsi Markandiya sebelum mereka menuju Bali. Selanjutnya, masyarakat setempat sangat yakin dengan kekuatan dan kesucian situs Alas Purwo tersebut. Sampai ada keinginan seorang warga untuk memagari situs itu agar aman dari jangkauan orang jahil. Akan tetapi, belum sampai tuntas mewujudkan keinginannya, warga tersebut keburu meninggal. Dari kejadian itu didapatkan sabda, kalau situs Alas Purwo itu wajib dipuja semua umat manusia di muka bumi ini tanpa dibatasi sekat-sekat golongan. Kemudian ada upaya dari pihak Dinas Purbakala untuk menjadikan situs Alas Purwo sebagai benda peninggalan sejarah. Di sisi lain, umat Hindu yang mayoritas bertempat tinggal di sekitar Mariyan — nama kawasan yang telah dibabat hutannya itu — tetap meyakini kalau situs itu adalah milik nenek moyang Hindu zaman dulu. Untuk menghindari adanya kejadian yang tak diinginkan, umat Hindu akhirnya membuatkan sebuah pura, sekitar 65 meter dari situs Alas Purwo saat ini. Sementara situs itu sendiri dibiarkan seperti semula, namun tetap menjadi tempat pemujaan bagi semua umat manusia, tak terbatas hanya umat Hindu. Bicara soal kesucian dan keajaiban situs Alas Purwo ini, memang berderet peristiwa menjadi pengalaman masyarakat penyungsung-nya. Itulah sebabnya, sejumlah pejabat maupun mantan pejabat terkenal pernah melakukan pemujaan di situs Alas Purwo ini. Tujuannya pun bermacam-macam. ”Hampir semua yang di-tunas, kesuecan Ida Batara yang malinggih di sini. Hanya, semua kembali kepada swakarma-nya,” ujar Mangku Adi, salah seorang pemangku setempat. Seiring dengan perjalanan waktu, pada tahun 1972 ada kebijakan Departemen Kehutanan dan Perkebunan untuk menagih kembali lahan hasil rabasan penduduk di kawasan Mariyan tersebut. Secara bertahap lahan dikembalikan menjadi hutan jati seperti sekarang ini, dan semua penduduk yang melakukan perabasan hutan itu kembali ke kampung masing-masing. Proses pengembaliannya ini selesai pada tahun 1975. Setelah itulah, situs Alas Purwo tinggal pada kesendiriannya, jauh dari rumah penduduk.
Meski demikian, Departemen Kehutanan memberikan kebebasan kepada mayarakat yang ingin melakukan persembahyangan atau pun meditasi di situs tersebut. Apalagi, umat Hindu yang kini telah kembali ”pulang” ke kawitan-nya setelah peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965 lalu. Mereka beranggapan sekaranglah kebangkitan Hindu itu akan terbukti, setelah 500 tahun runtuhnya Majapahit pada abad ke-14. Dan, itu salah satunya dimulai dari kerinduan umat Hindu Banyuwangi untuk menelesuri jejak nenek moyangnya. Diharapkan, dari situs Alas Purwo inilah bisa jadi sumbu penghubung Hindu tanah Jawa kelak
Pura Mandara Giri Semeru Agung
Sejarah singkat berdirinya Pura Mandara Giri Semeru Agung Lumajang, untuk dapat mewujudkan tegaknya pura di Desa Senduro, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tidaklah mudah. Di lambung sebelah timur Gunung Semeru itu, nyaris 20 tahun penganut Hindu memendam kerinduan untuk dapat mendirikan bangunan suci berupa pura. Impian itu seperti begitu sulit diwujudkan. Izin pendirian tak mudah didapat dan dana pun tidak otomatis mudah digalang. Begitu lama warga penganut Hindu ini berpuas diri hanya dengan mabakti (sembahyang) di Sanggar Pamujon yang ada hampir di setiap desa di Kecamatan Senduro, Lumajang. Keinginan pemeluk Hindu di Lumajang dan sekitarnya untuk membuat pura sesungguhnya telah muncul sejak tahun 1969. Keinginan ini tampak bersambut dengan keinginan sejumlah tokoh Hindu di Bali, terutama sejak diadakan nuur tirta (memohon air suci) dari Bali langsung ke Patirtaaan Watu Kelosot, di kaki Gunung Semeru, berkaitan dengan diaturkan upacara agung Karya Ekadasa Rudra di Pura Agung Besakih, di lambung Gunung Agung, Bali, Maret 1963. Kegiatan nuur tirta ke Watu Kelosot itu kembali dilakukan pada tahun 1979 berkaitan dengan digelarnya lagi upacara Ekadasa Rudra di Pura Agung Besakih. Pada akhir rangkaian Ekadasa Rudra tahun 1979 ini bahkan juga dilakukan upacara majauman ke Patirtaan Watu Kelosot. Sejak itu dimulailah tradisi rutin nuur tirta saban kali di Besakih dan pura kahyangan jagat lain di Bali diaturkan upacara berskala besar. Kawasan Gunung Sumeru dengan mata air suci Watu Kelosot pun makin dikenal kalangan umat Hindu di Bali maupun di luar Bali. Sebelumnya manakala diaturkan upacara-upacara besar di tempat-tempat suci atau pura kahyangan jagat di Bali, para pandita atau sulinggih (pendeta) biasanya cukup hanya ngaskara ke Gunung Semeru, memohon ke hadapan Hyang Siwa Pasupati yang diyakini berstana di puncak Gunung Semeru. Seiring dengan kesadaran dan penghayatan umat Hindu terhadap ajaran agama, ditopang pula oleh kemajuan teknologi transportasi, nuur atau mendak tirta ke Gunung Semeru pun dilakukan langsung. Toh, kendala teknis praktis kian dirasakan timbul dalam perjalanan waktu kemudian. Jarak tempuh Bali-Watu Kelosot yang bisa menghabiskan waktu 9-11 jam sekali tempuh, kerap mengharuskan umat Hindu bermalam di kawasan Lumajang. Andaikan sekadar menginap tentu tidak masalah, karena bisa bermalam di hotel mana saja. Rasa hati kurang sreg, kurang mantap, muncul manakala menginap sambil ngiring tirta yang baru saja dimohon penuh rasa bakti di petirtaan Watu Kelosot. Terasa kurang etis, tidak anut, bila menginapkan air suci di hotel. Dari sini kian kuat kukuhlah dorongan keinginan mendirikan tempat suci di sekitar Gunung Semeru. Tidak hanya masalah teknis praktis dan etis dijadikan pertimbangan. Pendirian pura di kawasan dataran tinggi ini juga didasari konsep yang ditopang sumber-sumber rujukan kuat susastra-agama maupun sumber-sumber sejarah kuno. Dalam pandangan Hindu, dataran tanah atau gunung tertinggi merupakan kawasan tersuci secara spiritual. Ini tentu sangat tepat dengan posisi Gunung Semeru sebagai gunung tertinggi di tanah Jawa, bahkan di Kepulauan Nusantara. Kawasan ini secara historis juga disebut-sebut sebagai kawasan suci semasa Jawa Kuno, sebagaimana dapat disusuri dari sumber susastra Nagarakertagama berbahasa Jawa Kuno. Izin lokasi pendirian pura diajukan, tetapi ditolak Bupati Lumajang dengan alasan tempat sempit dan dekat pemukiman non-Hindu. Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) setempat sempat menawarkan lokasi di Desa Kertasari, namun ditolak umat, karena merupakan daerah aliran lahar Gunung Semeru. Sampai akhirnya lokasi berdirinya pura sekarang ini dipilih, dengan luas awal cuma 25 x 60 meter, belakangan ditambah lagi menjadi 25 x 65 meter, seharga Rp 4,5 juta. Izin diajukan kembali, tiga tahun kemudian baru turun dari aparat berwenang.
Panitia Senduro-Bali
Pura dibangun bertahap. Setelah batu bata terbeli, padmasana mulai dibangun, menghadap ke timur. Tetapi tidak bisa dituntaskan. Dipindah agak ke utara (masih menghadap ke timur), tidak bisa diselesaikan juga. Ada pawisik (petunjuk gaib) agar dihadapkan ke selatan. Sejak itu pembangunan lancar dan punia (sumbangan) mengalir dari umat di Bali maupun di luar Bali.
Pendirian pura bertambah lancar setelah rombongan dari Bali, antara lain Jero Gede Alitan Batur, Tjok Gede Agung Suyasa, Mangku Sueca dari Besakih, tahun 1989 saat nuur tirta (memohon air suci) ke Semeru bertemu umat Hindu asli kawasan Semeru. Rombongan dari Bali ini pun bergabung dengan tim pembangunan pura setempat. Panitia gabungan Sendoro-Bali dibentuk terpadu. Rencana pun kian mengembang seiring dengan mengalirnya punia dari para bakta, umat penderma. Guna menjaga ketertiban dan pertanggungjawaban pengorganisasian, Parisada Kabupaten Lumajang lantas menunjuk sejumlah bakta (umat yang bersedia tulus berkorban) sebagai Panitia Penggalian Dana dan Pembangunan Pura Semeru, lewat Surat Penunjukan nomor 94/PHDI-LMJ/IV/1991.
Ketika awal diserahi tugas membangunan fisik pura, panitia cuma disodori dana Rp 40 juta. Dari penggalian dana sukarela kemudian terkumpul Rp 90 juta. Hingga kini total sudah dihabiskan dana sekitar Rp 1,8 milyar untuk pembangunan fisik pura dan sekitarnya. Arealnya pun meluas hingga kini hampir 2 hektar.
Kini bangunan fisik Pura Mandara Giri Semeru Agung sudah dilengkapi dengan candi bentar (apit surang) di jaba sisi, dan candi kurung (gelungkuri) di jaba tengah. Di areal ini dibangun bale patok, bale gong, gedong simpen, dan bale kulkul. Ada juga pendopo, suci sebagai dapur khusus dan bale patandingan. Di jeroan, areal utama, ada pangapit lawang, bale ongkara, bale pasanekan, bale gajah, bale agung, bale paselang, anglurah, tajuk, dan padmanabha sebagai bangunan suci utama dan sentral.
Di lokasi agak menurun, di sisi timur, dibangun pasraman sulinggih, bale simpen peralatan dan dua bale pagibungan selain dapur. Sedangkan di sisi selatan berdiri wantilan megah dan luas. Panitia juga menyiapkan pembangunan kantor Sekretariat Parisada, perpustakaan dan gerbang utama waringin lawang.
Hari Minggu Umanis, Wuku Menail, tanggal 8 Maret 1992, dipimpin delapan pendeta, digelarlah untuk pertama kalinya upacara Pamlaspas Alit dan Mapulang Dasar Sarwa Sekar. Dengan begitu status dan fungsi bangunan pun berubah menjadi tempat suci, pura. Selanjutnya pada bulan Juni – Juli 1992 diaturkan upacara besar berupa Pamungkah Agung, Ngenteg Linggih, dan Pujawali.
Lewat Surat Keputusan Nomor: 07/Kep/V/PHDI/1992, dengan memperhatikan hasil pertemuan pihak-pihak instansi, badan dan majelis yang terkait, di Wantilan Mandapa Kesari Warmadewa, Besakih, tanggal 11 Mei 1992, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat lantas menetapkan nama, status dan pengelola pura. Ditetapkan antara lain: nama pura adalah Pura Mandara Giri Semeru Agung dengan status Pura Kahyangan Jagat, tempat memuja Hyang Widhi Wasa. Sebagai panyungsung adalah seluruh umat Hindu di Indonesia.
Kini kehadiran pura malah dirasakan memberi rezeki bagi penduduk setempat. Warung-warung makanan hingga kios penjual kaos berlogo Semeru Agung dan beragam cenderamata lain pun berkembang. Begitu juga penduduk di sekitar pura mulai menyediakan kamar-kamar untuk menginap bagi umat Hindu yang datang bersembahyang ke pura. Bahkan, penginapan juga dibangun di sana oleh penduduk setempat. Saban hari memang ada saja umat yang bersembahyang ke Semeru Agung. Lebih-lebih lagi bila hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan dan sejenisnya.
Kehadiran pura ini, nyatanya tidak sebatas hanya mengangkat nama Senduro, Lumajang dan sekitarnya menjadi tambah tenar di kalangan penganut Hindu di seluruh Indonesia. Lebih dari sekadar tenar, kehadiran Pura Mandara Giri Semeru Agung begitu nyata juga mampu memutar roda perekonomian masyarakat di sekitarnya. Di sini vibrasi atau getaran kesucian religius dan spiritualitas betapa nyata membuahkan peluang ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, sekaligus menciptakan kerukunan antarsesama manusia.
Memuja Hyang Siwa Pasupati
PEMILIHAN lokasi pura di lambung Gunung Sumeru tidaklah sembarangan. Ada konsep kuat melatarinya, dan ini sangat terkait dengan sumber-sumber susastra-agama yang ada. Antara lain disuratkan, ketika tanah Jawa masih menggang-menggung, belum stabil, Batara Guru menitahkan para Dewa memenggal puncak Gunung Mahameru dari tanah Bharatawarsa (India) ke Jawa. Titah itu dilakonkan para Dewa. Puncak Gunung Mahameru dipenggal, diterbangkan ke tanah Jawa. Jatuh di sisi barat, tanah Jawa berguncang. Bagian timur berjungkat, sedangkan bagian barat justru tenggelam.
Potongan puncak Gunung Mahameru itu pun digotong lagi ke rah timur. Sepanjang perjalanan dari barat ke bagian timur tanah Jawa, bagian-bagian puncak Gunung Mahameru itu ada yang rempak. Bagian-bagian yang rempak itu kelak tumbuh menjadi enam gunung kecil masing-masing Gunung Katong (Gunung Lawu, 3.265 m di atas permukaan laut), Gunung Wilis (2.169 m), Gunung Kampud (Gunung Kelud, 1.713 m), Gunung Kawi (2.631 m), Gunung Arjuna (3.339 m), Gunung Kemukus (3.156 m).
Adapun puncak Mahameru itu kemudian menjadi Gunung Sumeru (3.876 m). Inilah puncak tertinggi Pegunungan Tengger sekarang — bahkan menjadi gunung tertinggi seantero Indonesia — yang membentuk poros dengan Gunung Bromo atau Gunung Brahma. Sejak itu tanah Jawa menjadi stabil, tak lagi goyang, menggang-menggung. Di lambung Gunung Semeru itulah sejak tahun 1992 resmi berdiri megah Pura Mandara Giri Semeru Agung.
Tentu saja panteon pemindahan Gunung Mahameru di tanah Hindu menjadi Gunung Semeru — begitu nama otentik yang tersuratkan, namun orang-orang kini terbiasa menyebut Semeru — di tanah Jawa (Nusantara) itu disuratkan jauh sebelum Pura Mandara Giri Semeru Agung dibangun. Kisah tua itu tersurat benderang dalam kitab Tantupanggelaran berbahasa Jawa Tengahan, digubah dalam bentuk prosa. Apa yang menarik dari kisah pemindahan gunung itu?
Panteon itu jelas menunjukkan persebaran Hindu paham Siwaistis dari tanah India ke negeri Nusantara yang berpusat di tanah Jawa. Dalam pandangan Hindu Siwaistis yang berpengaruh besar di Nusantara, termasuk Bali hingga kini, Dewa tertinggi adalah Siwa. Dewa Siwa bersemayam di gunung tertinggi. Itu berarti di puncak Gunung Mahameru (Himalaya) dalam alam India, atau puncak Gunung Sumeru dalam alam Nusantara. Teks-teks Purana India yang tergolong kitab Upaweda (penjelasan lebih lanjut atas Weda) memang menyuratkan Tuhan Yang Mahatunggal bersemayam di puncak Mahameru — dikenal pula dengan nama Gunung Kailasa atau Gunung Himawan, yang bersalju abadi.
Di puncak gunung yang dikenal juga sebagai pusat padma raya itu Siwa, yang juga dikenal sebagai Parwataraja Dewa, menurunkan ajaran-ajaran-Nya kepada sakti-Nya, Dewi Parwati, Dewi Gunung. Ajaran-ajaran itu biasanya disuratkan dalam bentuk tanya jawab antara Hyang Siwa dengan Dewi Parwati, kemudian dicatat dalam berbagai Yamala, Damara, Siwasutra, maupun kitab Tantra. Lebih lanjut, kitab-kitab yang menguraikan perihal ajaran yoga memberikan tuntunan sangat benderang bahwa bagi seorang sadhaka, dia yang teguh kukuh dan penuh disiplin menjadikan dirinya sebagai sarana dasar pelaksanaan yoga, puncak gunung itu ada di sahasrara padma, yakni di puncak ubun-ubun kepala manusia. Dengan begitu, puncak gunung tiada ubahnya dengan kepala manusia, tempat yang sangat penting sekaligus sangat patut dijaga kesuciannya.
Menghormati Gunung
Paham Siwaistis memang memberi posisi serta penghormatan penting dan tinggi terhadap gunung. Di mana daratan tertinggi dalam suatu kawasan atau wilayah, di sanalah dipandang sebagai pusat buana (madyanikang bhuwana) sekaligus hulu bagi kawasan atau wilayah sekitar. Di sana pula Tuhan sebagai Siwa Yang Mahasuci distanakan, lalu dipuja. Tak heran bila tempat-tempat suci untuk lingkup luas, umum (kahyangan jagat), lantas didirikan di gunung, entah di puncak, di lambung atau di kaki gunung, karena di sanalah dinilai secara spiritual sebagai kawasan tersuci.
Bila bukan di gunung maka pura akan diorientasikan ke arah gunung. Bentuk pemujaan (palinggih) pun mengerucut ke atas, menyerupai gunung, entah berupa candi seperti di Jawa, entah berwujud padmasana, atau pun meru layaknya di Bali. Atau bahkan berupa lingga, batu berdiri. Dari pemahaman inilah lantas gunung disebut pula sebagai lingga acala, lingga yang tidak bergerak sekaligus juga berarti lingga yang tidak diciptakan manusia. Dalam bahasa Jawa Kuna, acala memang juga diartikan gunung, karang. Hindu memang mengajarkan manusia untuk senantiasa berorientasi atau menjadikan yang Abadi, tidak bergerak, itu sebagai tujuan. Karena itu, selain pada gunung, Hindu juga mengagungkan matahari sebagai mahasumber energi hidup yang abadi.
Dengan dasar pandangan berwawasan kemestaan demikian maka sangat tepatlah bila di Gunung Semeru dibangun pura, sebagai tempat umat Hindu se-Indonesia memuja Hyang Siwa Pasupati. Puncak Gunung Semeru lantas menjadi Gunung Agung (yang sama artinya dengan Mahameru, kini berketinggian 3,142 m) tempat berstana Hyang Putranjaya atau Mahadewa, bagiannya yang tercecer menjadi Gunung Batur (1.717 m) stana Dewi Danuh (Wisnu), dan Gunung Lempuyang sebagai stana Hyang Gnijaya (Iswara). Sejak itu jagat Bali disuratkan stabil kembali, dan ketiga gunung ini pun mendapat kedudukan penting, selain Gunung Watukaru (2,276 m), Pucak Mangu, Penulisan (1.475 m), Andakasa, bukit karang Uluwatu, dan Goa Lawah. Dari semuanya ini, Gunung Agung-lah dinilai sebagai pusat di Bali, karena tertinggi di Pulau Dewata. Karena itu pula, maka hingga kini bila di Pura Agung Besakih — begitu juga pura-pura Sad Kahyangan lain di Bali — ada upacara besar (karya agung) tetap mesti nuur tirta ke Semeru. Sebaliknya kini bila di Pura Semeru ada upacara, maka terlebih dahulu juga disertai dengan matur piuning ke Pura Sad Kahyangan di Bali, termasuk ke Gunung Rinjani (Lombok, 3.726 m).
Dari gunung yang lebat ditumbuhi pepohonanlah air mengalir menyuburkan tanah, bumi. Sebelumnya, air pegunungan ditampung danau, lalu mengalir lewat sungai-sungai. Setelah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan memenuhi hidup manusia, air lantas dialirkan lagi ke laut. Panas matahari menguapkan air laut, menjadi mendung, dan mendung turun, menjadi hujan, kembali diserap gunung dengan pepohonannya, ditampung danau, melesak ke tanah, menyembul menjadi mata air, mengalir dan terus mengalir. Begitu seterusnya, berputar dan berputar, tiada henti.
Itu alasan gunung dalam kosmologi Hindu diposisikan sebagai hulu, danau di tengah, dan laut di hilir. Ketiganya membentuk alur siklus kesemestaan. Dari gunung sebagai hulu itulah kerahayuan mengalir bagi segenap makhluk. Manakala di tempat suci di gunung, seperti di Pura Besakih, di lambung Gunung Agung, maupun di Pura Mandara Giri Semeru Agung, di lambung Gunung Semeru, digelar upacara tawur, misalnya, maka itu akan dialirkan ke dataran di hilir atau di bagian bawah dataran tinggi itu lewat sungai-sungai, masuk sawah, tegalan, parit-parit, dan seterusnya. Dengan begitu pemilihan gunung tertinggi sebagai pusat buana memang didasarkan wawasan yang luas, mendalam, tidak saja secara spiritual, tetapi juga secara kosmologis, geografis, sosiologis, dengan kesadaran ekologis yang kuat.
Pura Luhur Poten, Mount Bromo
Pura Poten atau Pura Luhur Poten Gunung Bromo terletak di tengah lautan pasir gunung bromo menjadi salah satu tempat beribadah suku Tengger untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan sebagai manifestasi Dewa Brahma. Pura ini di bangun pada tahun 2000 dengan arsitektur campuran dari adat Bali dan Jawa yang bangunannya terbagi menjadi 3 zone aau 3 Mandala yaitu Utama Mandala yaitu tempat pelaksanaan pemujaan atau persembahyangan yang di dalamnya terdapat sebuah Padmasan. Madya mandala (tengah) sebagai tempat untuk persiapan dan pengiringan upacara persembahyangan. Nista Mandala(depan) yaitu ruang terbuka yang mempunyai pintu masuk tunggal sebagai tempat peralihan dari luar untuk masuk ke dalam pura.Selain sebagai tempat persembahyangan suku Tengger, Pura Luhur Poten merupakan lokasi perayaan suku adat bromo yaitu Festival Yadnya Kesada yang familiar disebut upacara Kasodo . Upacara Kasada adalah upacara tahunan untuk memanjatkan puji syukur atas karuniaNya yang diberikan kepada masyarakat Suku Tengger. Upacara ini diadakan setiap tahun pada bulan Kasada tepatnya pada malam bulan purnama. Tepat pada perayaan kasadapengunjung wisata Bromo sungguh sangat tinggi. kalau tour bromo biasanya mulai jam 3 pagi, maka saat perayaan ini di mulai pada jam 12 malam untuk mengarak sesajen ke Pura Luhur Poten Gunung Bromo. Pengunjung yang tidak membawa kendaraan roda 2 wajib menyewa Jeep penduduk lokal setempat karena kendaraan roda 4 biasa akan dilarang turun kelautan pasir oleh petugas setempat.
- PHOTO GALLERY